Dalil larangan bidaah

AKIBAT BURUK BID’AH

📮 INTISARI :
20 Kesan Buruk Dan Akibat Yang Merugikan Bagi Pelaku Bid’ah

(1). Amalannya tidak akan diterima Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara baru dalam urusan (agama) kami ini apa-apa yang tidak ada darinya (keterangan), maka amalan itu tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718 (17), hadits dari ‘Aisyah).

“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan atas perintah kami, maka ia tertolak” (HR.Muslim no.1718 (18), Abu Dawud no.4606 dan Ahmad VI/73, hadits dari ‘Aisyah).

Allah Ta’ala berfirman :

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya ?”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al-Kahfi [18] : 103-104).


(2). Pelaku bid’ah dianggap telah mematikan Sunnah.

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata :

“Tidaklah datang (suatu masa) kepada manusia, melainkan mereka akan membuat bid’ah di dalamnya dan akan mematikan Sunnah, sehingga maraklah perbuatan bid’ah dan matilah Sunnah” (Al-I’tisham I/87 oleh Imam asy-Syathibi).


(3). Pelaku bid’ah dianggap pemecah-belah umat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ما من نبيٍّ بَعثَهُ اللهُ في أُمَّةٍ قبْلِي ، إلَّا كان لهُ من أُمَّتِه حوَارِيُّونَ ، وأصحابٌ يأخُذونَ بِسنَّتِه ، ويَتقيَّدُونَ بأمْرِهِ ، ثمَّ إنَّها تَخُلُفُ من بعدِهِمْ خُلُوفٌ ، يقولُونَ ما لا يَفعلُونَ ، ويفعلُونَ ما لا يُؤْمَرُونَ ، فمَنْ جاهدَهمْ بيدِهِ فهوَ مُؤمِنٌ ، ومَنْ جاهدَهمْ بِلسانِه فهوَ مُؤمِنٌ ، ومَنْ جاهدَهمْ بقلْبِهِ فهوَ مُؤمنٌ ، ليس وراءَ ذلكَ من الإيمانِ حبَّةُ خرْدَلٍ

“Tidak seorang Nabi pun yang diutus Allah pada umat sebelumku kecuali ia mempunyai sahabat-sahabat dan penolong-penolong yang setia. Mereka mengikuti sunnah-sunnahnya dan mengerjakan apa yang diperintahkannya. Kemudian datang setelah mereka kaum yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan “Mengerjakan Apa Yang Tidak Diperintahkan”. Maka barang siapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya maka dia adalah mukmin dan barang siapa berjihad dengan lisannya dia adalah mukmin dan siapa yang berjihad dengan hatinya maka dia mukmin. Setelah itu tidak ada lagi iman walaupun sebesar biji sawi” (HR. Muslim no. 50, hadits dari Ibnu Mas’ud, Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no.5790).

إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً يَعْنِي الْأَهْوَاءَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مَفْصِلٌ إِلَّا دَخَلَهُ وَاللَّهِ يَا مَعْشَرَ الْعَرَبِ لَئِنْ لَمْ تَقُومُوا بِمَا جَاءَ بِهِ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَغَيْرُكُمْ مِنْ النَّاسِ أَحْرَى أَنْ لَا يَقُومَ بِهِ
“Sesungguhnya ahli kitab telah berpecah menjadi 72 firqah; dan sesungguhnya umat ini akan berpecah menjadi 73 millah, mereka semua berada di Neraka kecuali satu, yaitu al-Jama’ah. Nanti akan muncul pada umatku sekelompok orang yang kerasukan bid’ah dan hawa nafsu sebagaimana anjing kerasukan rabies, tak tersisa satu pun dari urat dan sendinya melainkan telah kerasukan. Wahai sekalian bangsa Arab, demi Allah… kalau kalian saja tidak mau melaksanakan ajaran Nabimu, maka orang lain akan lebih tidak mau lagi” (HR. Abu Dawud no 4597 dan Ahmad IV/102 no. 17061, hadits dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, lihat ash-Shahiihah no. 204)


(4). Pelaku bid’ah yang tidak bertaubat, maka ia akan membuat-buat bid’ah yang lebih buruk lagi. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata :

“Tidaklah seseorang selalu mengikuti pendapat akalnya dalam hal-hal bid’ah kemudian meninggalkannya, kecuali kepada hal-hal yang lebih buruk darinya” (Al-I’tisham I/92).


(5). Pelakunya dianggap telah terjatuh ke dalam kesesatan, karena semua bid’ah adalah sesat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Muslim no. 867, hadits dari Jabir bin Abdillah).

وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Jauhilah segala perkara baru (di dalam agama) karena sesungguhnya setiap perkara baru di dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” [HR Abu Dawud no.4607, at-Tirmidzi no.2678, Ibnu Majah no.43, Ahmad IV/126, Ibnu Hibban no.102, al-Hakim I/95-97 dll, lihat Irwaa-ul Ghaliil VIII/107 no.2455, hadits dari ‘Irbadh bin Saariyah].


(6). Pelaku bid’ah adalah orang yang dilaknat menurut syari’at.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru (bid’ah) atau mendukung pelaku bid’ah di dalam (kota Madinah), maka dia akan mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima darinya baik amalan yang fardhu maupun yang sunnah pada hari kiamat” (HR. Bukhari no 1870 dan Muslim no.1370, hadits dari ‘Ali bin Abi Thalib).


(7). Pelaku bid’ah tidak mendapatkan penjagaan dari Allah Ta’ala.

Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata :

“Barangsiapa mendengarkan ahlul bid’ah dengan pendengarannya, padahal dia mengetahui, maka ia keluar dari penjagaan Allah dan (urusannya) diserahkan kepada dirinya sendiri”

Setelah membawakan perkataan Sufyan ats-Tsauri di atas, al-Hafidz adz-Dzahabi berkata:

“Kebanyakan para imam Salaf berpendapat dengan tahdzir ini, mereka melihat bahwa hati itu lemah dan syubhat-syubhat itu menyambar-nyambar” [lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ VII/261].

Ancaman ini bagi yang mendengarkan, lalu bagaimana bagi pelaku kebid’ahan itu sendiri?


(8). Semakin menjauhkan pelakunya dari Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلَاتَكُمْ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ …

“Akan muncul diantara kalian suatu kaum yang kalian akan meremehkan salat kalian (para sahabat), puasa kalian dan amal  kalian di samping salat mereka, puasa mereka, dan amal mereka. Mereka rajin membaca al-Qur’an akan tetapi (pengaruhnya) tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari Islam seperti anak panah yang keluar menembus sasarannya” (HR. Bukhari no 5058 dan Muslim no 1064, hadits dari Abu Sa’id al-Khudri).

Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah (salah seorang tokoh tabi’in) berkata :

مَا ازْدَادَ صَاحِبُ بِدْعَةٍ اِجْتِهَاداً، إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْداً
“Tidaklah bertambah semangat pelaku bid’ah dalam beribadah, melainkan menjadikan mereka semakin jauh dari Allah” (Hilyatul Auliya’ 1/392).


(9). Pelaku bid’ah dianggap telah mendustakan Allah, yaitu dengan menyakini bahwa Islam itu belum sempurna, padahal Allah ‘Azza wa Jalla telah menyempurnakannya.

Allah Ta’ala berfirman :

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi agama bagimu…” (QS. Al-Maidah [5]: 3)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Tidak tersisa suatu (amalan) pun yang dapat mendekatkan kepada Syurga dan menjauhkan dari Neraka, melainkan sudah dijelaskan semuanya kepada kalian” (HR.ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir no.1647 dan Ahmad V/153, 162, hadits dari Abu Dzar, lihat ash-Shahiihah no.1803)


(10). Pelaku bid’ah ikut menanggung dosa orang yang mengikutinya hingga hari kiamat.

Allah Ta’ala berfirman :

لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ
“Agar mereka memikul dosa-dosa mereka seluruhnya pada hari kiamat dan sebahagian dari dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang
mereka pikul itu” (QS. An-Nahl [16]: 25).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“…Dan barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah lalu mengamalkannya, maka ia akan mendapatkan dosa dari orang yang ikut melakukannya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun” (HR. At-Tirmidzi no.2677 dan Ibnu Majah no.209).


(11). Pelaku bid’ah sangat sulit untuk bertaubat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Sesungguhnya Allah akan menghalangi setiap pelaku bid’ah untuk bertaubat sampai dia meninggalkan bid’ahnya” (HR. At-Tirmidzi, ath-Thabrani dan al-Baihaqi, hadits dari Anas bin Malik, lihat Shahihut Targhiib wat Tarhiib no. 54 dan ash-Shahiihah IV/154 no.1620)

Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata :

البدعة أحب إلى إبليس من المعصية ، المعصية يتاب منها، والبدعة لا يتاب منها
“Bid’ah lebih disukai oleh iblis daripada (pelaku) maksiat, sebab (pelaku) maksiat masih bisa diharapkan taubatnya, sedangkan (pelaku) bid’ah tidak dapat diharapkan pelakunya mau bertaubat darinya” (Ilmu Ushulil Bida’ hal 218).


(12). Pelaku bid’ah tidak akan minum dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ أُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمَّ فَيُقَالُ إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا
“Aku akan mendahului mereka (umatku) menuju telaga. Sungguh, akan ada beberapa orang yang dihalau dari telagaku sebagaimana dihalaunya unta yang sesat. Aku memanggil mereka: “Hai datanglah kemari…!” Namun dikatakan kepadaku: “Mereka telah merubah-rubah (ajaranmu) sepeninggalmu”. Maka aku berkata : “(kalau begitu) menjauhlah sana… menjauhlah sana” (HR. Muslim no 249, Ibnu Majah no 4306, dan Ahmad II/300, 408 hadits no. 7980, 8865 dan 9281).

Dalam riwayat yang lain dikatakan :
Aku lantas berkata : “Wahai Rabbku, ini adalah umatku”. Lalu Allah berfirman : “Engkau tidak mengetahui (bid’ah) apa yang mereka ada-adakan setelahmu” (HR. Bukhari no. 7049)


(13). Pelaku bid’ah secara tidak langsung menuduh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak amanah dan menganggapnya tidak menyampaikan seluruh ajaran agama Islam kepada umat.

Imam Malik rahimahullah berkata :
من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا
“Barangsiapa yang melakukan bid’ah di dalam Islam yang dianggapnya baik (hasanah), maka sungguh dia telah menganggap (Nabi) Muhammad telah mengkhianati risalah (kenabian), karena Allah Ta’ala berfirman : “Pada hari ini Aku telah menyempurnakan agama kalian untuk kalian” [QS Al-Maidah: 3]. Maka perkara apa saja yang pada masa itu (saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup) tidak dianggap (sebagai bagian dari) agama, maka pada hari ini pun tidak dianggap sebagai (bagian dari) agama” [Al-I’tisham oleh asy-Syathibi 1/49].


(14). Pelaku bid’ah dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekafiran.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku” (HR.Bukhari no.5063 dan Muslim no.1401, hadits dari Anas).

“Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang mengamalkan sunnah selain sunnah kami” (HR. At-Tirmidzi no.2695, ad-Dailami dan ath-Thabrani dalam al-Kabiir, hadits dari Ibnu Abbas, Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no. 5439 dan ash-Shahiihah no.2194)


(15). Pelaku bid’ah dikhawatirkan akan mati dalam keadaan suu’ul khatimah.

Seorang pelaku bid’ah bererti orang yang sedang bermaksiat kepada Allah dan siapa pun yang bersikukuh dengan maksiatnya perlu dicemaskan kalau-kalau ia mati dalam keadaan itu.


(16). Pelaku bid’ah akan mendapatkan kebinasaan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan dalam perkara agama, karena sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian oleh sikap berlebih-lebihan mereka dalam perkara agama” (HR.Ahmad I/215 dan 347, an-Nasaa’i V/268, Ibnu Majah no.3029 dan al-Hakim I/466, hadits dari Ibnu Abbas, lihat Shahiihul Jaami no.2680).

“Sesungguhnya setiap amal mempunyai kesemangatan dan setiap kesemangatan mempunyai masa jenuh, maka barangsiapa masa jenuhnya menuju kepada Sunnahku maka ia benar-benar telah mendapat petunjuk dan barangsiapa masa jenuhnya kepada yang selain itu (yaitu bid’ah), maka ia benar-benar binasa” (HR.Al-Baihaqi, hadits dari Ibnu Umar, lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no. 2152)

“Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian di atas agama yang terang, siangnya sepertinya malamnya. Tiada yang menyimpang darinya kecuali orang yang binasa” (HR.Ibnu Abi Ashim dalam Kitab as-Sunnah, lihat Shahiihut Targhiib wat Tarhiib no.59).


(17). Pelaku bid’ah adalah orang yang dibenci Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Orang yang paling dibenci Allah ‘Azza wa Jalla adalah orang yang mencari sunnah jahiliyah dalam Islam…” (HR.Ath-Thabrani, lihat Tafsir Ibnu Katsir III/164, tahqiq oleh Syaikh Muqbil al-Wadi’i).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :
إن أبغض الأمور إلى الله البدع
“Sesungguhnya perkara yang paling dibenci Allah adalah bid’ah” (Al-Baihaqi dalam as-Sunan IV/316).

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya Allah memiliki Malaikat yang bertugas mencari majlis-majlis dzikir, maka lihatlah bersama siapakah majlismu itu, janganlah bersama ahlul bid’ah, karena Allah Ta’ala tidak melihat kepada mereka. Dan salah satu tanda nifaq adalah seseorang bangun dan duduk bersama ahlul bid’ah. Aku mendapati sebaik-baik manusia (yakni tabi’in), mereka semuanya adalah Ahlus Sunnah dan mereka melarang (yakni memperingatkan umat) dari ahlul bid’ah” [lihat Hilyatul Auliyaa’ VIII/104 dan I’tiqaad Ahlis Sunnah 1/138).


(18). Pelaku bid’ah dianggap seperti dajjal.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
سيَكونُ في أمَّتي دجَّالونَ كذَّابونَ ، يحدِّثونَكُم ببدَعٍ منَ الحَديثِ ، بما لم تَسمَعوا أنتُمْ ولا آباؤُكُم ، فإيَّاكم وإيَّاهُم لا يفتِنونَكُم
“Akan ada para dajjal pendusta diantara umatku yang membuat bid’ah dari hadits yang tidak pernah didengar oleh kalian mahupun bapa-bapa kalian. Maka berhati-hatilah terhadap mereka dan janganlah kalian disesatkan dan terfitnah oleh mereka” (HR.Muslim no.7 dan Ahmad 16/245 no.8580, hadits dari Abu Hurairah).


(19). Wajah pelaku bid’ah akan menghitam di hari kiamat.

Allah Ta’ala berfirman :
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan ada pula yang hitam muram…” (QS. Ali ‘Imran [3]: 106)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan ayat ini dengan mengatakan :
يَعْنِي: يَوْمَ الْقِيَامَةَ، حِيْنَ تَبْيَضُّ وُجُوْهُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، وَتَسْوَدُّ وُجُوْهُ أَهْلِ الْبِدْعَةِ وَالُفُرُقَةِ
“Yaitu hari kiamat… ketika wajah ahlussunnah wal jama’ah putih berseri, sedangkan wajah ahlul bid’ah wal furqah hitam legam” (Tafsir Ibnu Katsir II/92)


(20). Pelaku bid’ah diancam dengan neraka.

Allah Ta’ala berfirman :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin (yaitu para sahabat), niscaya akan Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan akan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisaa’ [4]: 115)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka” (HR. An-Nasaa’i no. 1578)

Al-Imam Al-Barbahaari rahimahullah berkata :
“Hati-hatilah dari bid’ah-bid’ah yang kecil, karena bid’ah yang kecil itu akan terus meningkat hingga menjadi bid’ah yang besar. Demikianlah setiap kebid’ahan yang diada-adakan oleh umat ini awalnya dianggap ‘sepele’ menyerupai Al-Haq (kebenaran), sehingga tertipulah orang yang terjatuh di dalamnya, kemudian ia tidak mampu untuk keluar darinya. Lalu membesarlah kebid’ahan tersebut dan menjadi agamanya. Akhirnya ia pun menyimpang dari “Ash-Shiraatul Mustaqiim” (jalan yang lurus) dan keluar dari keislamannya…” (lihat Ithaaful Qaari bit Ta’liqaat ‘ala Syarhissunnah lil Imam Al-Barbahaari 1/81).

Wallahul Muwaffiq (NUB)

#⃣ Chanel Telegram

@tanyajawabislam

Baca Qur’an di kuburan 

Hukum Baca Al-Qur’an di Kubur

Copy dr http://www.solusiislam.
Banyak diantara kaum muslimin yang belum mengetahui tentang Hukum membaca Al Quran di kuburan.Apakah membaca al Quran di kuburan itu dibolehkan, ataukah malah dilarang dalam agama kita.
Meskipun telah kita ketahui bahwa membaca al Quran adalah suatu ibadah yang mulia,tetapi dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama tentang hukum membaca Al Quran di kuburan, ada ulama yang membolehkannya, namun tak sedikit dari para ulama yang tidak membolehkan membacanya di kuburan.
Bagi kita selaku orang awam, yang terpenting adalah melihat dalil-dalil dari kedua pendapat tersebut, karenadalam masalah khilafiyah, kita tidak boleh berhujjah dengan pendapat ulama saja, atau bahkan pendapat ‘kyai dan mbahku’. tapi hujah kita yang paling utama adalah Alquran dan sunnah.
Dalil-dalil pendapat yang membolehkan adalah sebagai berikut:
Pertama: Hadits Ibnu Abbas yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wasallam melewati dua buah kuburan, lalu Nabi mengabarkan bahwa penghuni kuburan tersebut sedang di ‘adzab, kemudian beliau mengambil pelepah kurma dan menyobeknya menjadi dua, lalu menanamkannya pada dua kuburan tadi, beliau bersabda: “Semoga diringankan adzabnya selama kedua pelepah itu belum kering”
Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini adalah dalil yang menunjukkan bolehnya membaca Alquran di sisi kuburan, karena menurut beliau apabila diharapkan adzabnya diringankan karena tasbihnya pelepah, maka membaca Alquran lebih utama lagi. (Syarah Shahih Muslim, 3/202).
Kedua: Hadits yang artinya, “Barang siapa yang melewati perkuburan lalu membaca qul huwallahu ahad sebelas kali, kemudian memberikan pahalanya kepada para mayat, maka akan diberikan pahala sesuai dengan jumlah mayat”. (HR. Al-Khallaal).
Ketiga: Hadits yang artinya, “Apabila seseorang dari kamu meninggal, maka janganlah ditahan, dan bersegeralah untuk dikuburkan, dan bacakan di sisi kepalanya Al-Fatihah dan di sisi kakinya akhir surat Al-Baqarah dikuburnya”. (HR. Ath Thabrani 12/445 no 13613) dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no 9294. Dari jalan Yahya bin Abdullah Al-Babalti dari Ayyub bin Nahik Al-Halabi dari ‘Atha bin Abi Rabah dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Keempat: Perbuatan Ibnu Umar, dari jalan Mubasyir mengabarkan dari Abdurrahman bin Al-’Alaa bin Al-Lajlaaj dari ayahnya bahwa ia mewasiatkan apabila telah dikubur, agar dibacakan di kepalanya permulaan surat Al-Baqarah dan akhirnya, dan berkata, “Aku mendengar Ibnu Umar berwasiat demikian”. Sebagaimana telah berlalu.
Kelima: Asy-Sya’bi berkata, “Adalah kaum Anshar apabila seseorang meninggal, mereka pergi bergantian ke kuburannya untuk membacakan Alquran”. Dikeluarkan oleh Al-Khallaal dalam kitab Al Qira’ah ‘Indal Qubuur (1/8 no 7) dari jalan Mujalid bin Sa’id dari Asy-Sya’bi.
Keenam: Alquran adalah berkah, maka bila dibacakan di kuburan, diharapkan dengan keberkahan Alquran dapat memberikan manfaat kepada penghuni kubur.
Jawaban dan Bantahan terhadap dalil-dalil yang membolehkan:
Bila kita perhatikan, dalil-dalil yang telah disebutkan diatas sebenarnya tidak dapat dijadikan hujjah,
Penjelasannya sebagai berikut:
Dalil pertama, tentang kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanam pelepah kurma yang telah disobek menjadi dua, alasan dijadikan hujjah untuk membolehkan adalah karena pelepah itu bertasbih sebagaimana Allah menyebutkan di dalam Alquran bahwa segala sesuatu di bumi dan di langit bertasbih memuji-Nya, sehingga bisa dijadikan dalil bolehnya membaca Alquran di kuburan.
Namun alasan ini amat lemah dari beberapa sisi:
Bila alasannya karena tasbih pelepah, tentu nabi tidak akan menyobeknya agar menjadi cepat kering, karena semakin lama kering berarti semakin lama diringankan adzabnya.Bila alasannya demikian, tentu nabi tidak akan menanam pelepah,akan tetapi beliau menanam pohon agar lebih lama lagi diringankan adzabnya.Bila demikian, maka mayat yang paling bahagia adalah mayat yang paling banyak, karena dedaunannya lebih banyak bertasbih, dan ini aneh dan batil.
Yang shahih, alasan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanam pelepah tersebut adalah dalam rangka memberikan syafaat kepadanya, dan ini kekhususan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu para ulama shahabat tidak ada yang memahami seperti apa yang dipahami oleh Imam An-Nawawi rahimahullah. Dan tidak ada satupun shahabat yang memahami dari hadits tersebut bolehnya membacakan Alquran di sisi kubur, kalaulah itu baik, tentu mereka yang pertama kali melakukannya.
Adapun dalil yang kedua, adalah hadits yang palsu, berasal dari naskah Abdullah bin Ahmad bin ‘Amir dari ayahnya dari Ali Ar Ridla dari ayah-ayahnya, dipalsukan oleh Abdullah atau ayahnya sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal, dan diikuti oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan (3/252), juga As-Suyuthi dalam Dzail Al Ahadits Al Maudlu’ah dan beliau menyebutkan hadits ini, dan diikuti juga oleh Ibnu ‘Arraaq dalamTanzih Asy Syari’atil Marfu’ah. (Lihat Ahkaam Janaiz, hal 245).
Adapun dalil yang ketiga adalah hadits yang sangat lemah, karena di dalamnya terdapat dua perawi yang lemah, yang pertama adalah Yahya bin Abdullah Al-Babalti, ia perawi yang lemah. Al Azdi berkata, “Kelemahan padanya sangat jelas”. Dan Abu Hatim berkata, “Tidak dianggap”. (Al-Mughni fi Dlu’afa, 2/739). Dan yang kedua adalah Ayyub bin Nahiik Al Halabi ia dianggap lemah oleh Abu Hatim, dan Al Azdi berkata, “Matruk”. Dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats-Tsiqat dan berkata: “Yukhti (suka salah)”. (Lisanul Mizan,1/490).
Adapun dalil yang keempat, yaitu atsar Ibnu Umar adalah lemah juga. Karena ia berasal dari periwayatan Abdurrahman bin Al ‘Alaa bin Al Lajlaaj, ia perawi yang majhul karena tidak ada yang meriwayatkan darinya selain Mubasyir. Dan Al Hafidz berkata dalam taqrib-nya: “Maqbul”. Artinya diterima apabila di-mutaba’ah, dan jika tidak maka haditsnya lemah. Dan di sini ia tidak di-mutaba’ah.
Adapun dalil yang kelima, yaitu atsar Asy Sya’bi adalah lemah juga, karena ia dari periwayatan Mujalid bin Sa’id, Al Hafidz berkata dalam taqrib-nya: “Laisa bil qawiyy (tidak kuat), berubah hafalannya di akhir umurnya”. Imam Ahmad berkata: “Laisa bisyai (tidak ada apa-apanya)”. Ibnu Ma’in berkata: “Tidak bisa dijadikan Hujah”. Dan Ad Daraquthni berkata: “Dla’if”. (Al Mughni fi Dlu’afa, 2/542).
Adapun dalil yang keenam adalah dalil yang membutuhkan dalil, artinya memang benar bahwa Alquran itu berkah, namun untuk dibacakan kepada mayat di kuburan membutuhkan kepada contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Dan ternyata tidak ada. Terlebih telah kita rajihkan bahwa bacaan Alquran tidak akan sampai kepada mayat.
Dalil-dalil Pendapat yang Melarang
Pertama: Hadits Abu Hurairah, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Janganlah kamu menjadikan rumah-rumahmu seperti kuburan, karena setan akan lari dari rumah yang dibanyakan padanya surat Al-Baqarah“. (HR Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa kuburan bukan tempat untuk membaca Alquran, oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjadikan rumah seperti kuburan yang tidak dibacakan padanya Alquran.
Kedua: Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berziarah ke perkuburan Baqi’, namun tidak disebutkan disana bahwa beliau membaca Alquran di kubur, di antaranya hadits Aisyah ia berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَدْعُو لَهُمْ فَسَأَلَتْهُ عَائِشَةُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَدْعُوَ لَهُمْ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar menuju Baqi’ untuk mendoakan mereka, lalu Aisyah menanyakannya, beliau bersabda: “Aku diperintahkan untuk mendoakan mereka”.
Tidak disebutkan dalam hadits-hadits itu bahwa beliau membaca Alquran di kuburan. Kalau itu baik, tentu beliau melakukannya dan diperintahkan kepadanya.
Ketiga: Hadits-hadits yang mengajarkan apa yang harus dibaca di perkuburan, di antaranya adalah hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim, Aisyah bertanya kepada beliau apa yang harus dibaca di kuburan, maka beliau mengajarkan salam dan doa, dan tidak mengajarkan untuk membaca Al-Fatihah atau surat lain dari Alquran, dan kaidah ushul fiqihberkata, “Meninggalkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan adalah tidak boleh”. Kalaulah itu baik, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi waallam mengajarkannya kepada ‘Aisyah dan shahabat-shahabat lainnya.
Keempat: Hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ikut menguburkan sebagian shahabat, seperti penguburan anaknya dan juga hadits Al-Bara’ bin Malik yang panjang yang menceritakan tentang bagaimana kematian orang beriman dan orang kafir, tidak disebutkan dalam hadits-hadits tersebut bahwa beliau mengajarkan untuk membaca surat A-Fatihah atau surat lainnya, kalau itu dilakukan oleh beliau, pastilah banyak shahabat yang menceritakannya.
Kelima: Tidak adanya praktik dari seorangpun shahabat Nabi, oleh karena itu Imam Malik berkata, “Aku tidak mengetahui seorangpun yang melakukannya”. Ketika para shahabat tidak ada yang melakukannya, padahal pendorong untuk itu amat kuat, dan tidak ada perkara yang menghalangi mereka, itu menunjukkan bahwa itu tidak disyariatkan.
Dan inilah pendapat yang rajih, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Dan yang dilakukan di zaman ini, dimana kaum muslimin membacakan Alquran di perkuburan, dengan jumlah hari tertentu, dan tarip tertentu, bahkan dinyalakan lampu-lampu di sana, tidak diragukan lagi akan kebid’ahannya. Karena perbuatan tersebut tidak ada seorangpun dari para ulama madzhab yang membolehkannya. Allahul musta’an.
Penulis: Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.

Solat Hadiah

BENARKAH WUJUD SOLAT SUNAT HADIAH KEPADA SI MATI?

Tersebut dalam Hasyah atas Syarah Sittin Masalah Arrimli, bagi Ahmad Almihi Annu’mani, pada m/s 67:
عن كتاب المختاَرِ ومطالع الاَنوار عنِ النَّبِي صَلى اللهُ عليه وسلم
لا يأتى على الميِت اشد من الَيلَة الاولى فَارحموا موتاكم بالصدقةِ
فَمَن لم يجد فليصل ركعتينِ . يقرأ فى كل ركعة منهمَا فاتحة الكتاب
واية الكرسي والهكم التكاثر وقل هُو اللهُ احدُ احْدى عشرة مرة ويقول :
اللهُم انىْ صليتُ هَذه الصلاةَ وتعلمُ مَا ارِيدُ .
اللهُم ابعثْ ثوابها الى قَبر فلاَنِ بنِ فُلاَنَة
فيَبعث اللهُ مِن سَاعته الى قبره الف ملك نور وهَديةٌ
يؤْنِسُوْنهُ فى قبرهِ الى ان ينفخ فى الصور ويعْطِى اللهُ المصليَ بعدد
مَا طلعَتْ عليه الَشمس حسَنَات ويرفعُ اللهُ له اربعين الف درجة
واربعين الف حجة وعمرَة ويبنى اللهُ له الف مدينة
فى الجنة وَيُعْطى ثواب الف شهيد ويكسى الف حلةٍ .

Ertinya: Sabda Nabi s.a.w: Tidaklah datang (cubaan) atas diri mayat yang lebih hebat dari malam pertama. Maka kasihanilah mayat-mayatmu itu dengan sedekah. Maka barangsiapa yang tidak mendapatkannya, hendaklah dilakukannya sembahyang 2 rakaat yang dibacakan pada tiap-tiap rakaat surah Al-Fatihah, Ayatul Kursi, Alhakumuttakasur, Qulhuallahuahad 11 kali, lalu diucapkannya:
Ya Allah! Sesungguhnya aku telah lakukan sembahyang ini, sedang Engkau Maha Mengetahui apa yang aku maksudkan. Ya Allah! Kirimkanlah pahalanya kekubur si Fulan bin Fulanah, nescaya mengirimkanlah Allah Taala pada saat itu juga seribu malaikat, bersama tiap-tiap malaikat itu nur dan hadiah. Berjinak-jinak mereka itu bersamanya di dalam kubur sampai ditiup sangkakala. Dan dikurnia Allah Taala kepada yang melakukan sembahyang ini sebanyak barang yang terkena sinar matahari akan kebajikan dan Allah Taala angkatkan baginya 40 ribu darjat, 40 ribu haji dan umrah dan dibina baginya seribu kota di dalam syurga dan diberi pahala seribu syahid dan dipakaikan seribu persalinan.


Jawapan:
Assalamualaikum.
Hadis berkaitan solat sunat hadiah adalah palsu. Tiada asalnya. Ia tidak wujud dalam kitab-kitab hadis.

Majlis Fatwa Arab Saudi menyatakan:
ج: لا شك أن الحديث المذكور في السؤال من الأحاديث الموضوعة المكذوبة على رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولا شك أن الصدقة والصلاة بالكيفية المذكورة في هذا الحديث الموضوع لا أصل لهما، ولا يشرع للمسلم أن يصلي عن أحد لا في أول ليلة يدفن فيها الميت ولا في غيرها،

Tidak syak lagi bahawa hadis yang disebutkan dalam soalan adalah daripada hadis palsu ke atas Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak syak lagi bahawa sedekah dan solat dalam bentuk yang disebutkan dalam hadis di atas adalah palsu dan tiada asalnya. Tidak disyariatkan bagi seorang Muslim untuk mensolatkan seseorang yang meninggal dunia pada malam pertama selepas dia dikebumikan, dan tidak juga pada malam-malam yang lain.
أما الصدقة فمشروعة عن الميت المسلم متى شاء أقاربه أو غيرهم الصدقة عنه؛ لما ثبت من الحديث الصحيح، أن رجلاً سأل النبي صلى الله عليه وسلم قال: إن أمي افتلتت نفسها ولم توص، وأظنها لو تكلمت تصدقت، أفلها أجر إن تصدقت عنها؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: نعم ، ولم يخص ليلة الدفن ولا غيرها،

Adapun sedekah disyariatkan untuk dilakukan bagi pihak si mati pada bila-bila masa yang dikehendaki samaada ada oleh kaum kerabatnya atau selain mereka. Ini berdasarkan hadis sahih bahawa seorang lelaki bertanya kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam: Sesungguhnya ibu ku meninggal dunia secara mengejut tanpa membuat sebarang wasiat. Aku merasakan jika dia sempat berkata-kata dia akan bersedekah. Adakah dia akan mendapat pahala jika aku bersedekah bagi pihaknya? Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Ya. [Sahih al-Bukhari dan Muslim]. Tidaklah ia dikhususkan untuk malam pertama selepas pengebumian atau malam-malam yang lain.
وقد أجمع العلماء من أهل السنة والجماعة على أن الميت المسلم ينتفع بالصدقة عنه والدعاء له، أما المؤلف لكتاب (المختار ومطالع الأنوار) فلا نعرفه، ولم نقف على كتابه المذكور، ولكن ما نقلتم عنه يدل على أنه ليس من أهل العلم المعتبرين، فنسأل الله لنا ولك ولجميع المسلمين المزيد من العلم النافع والعمل الصالح.

Ulama Ahlussunnah telah bersepakat bahawa mayat seorang Muslim akan mendapat manfaat daripada sedekah yang dilakukan bagi pihaknya dan doa kepadanya.. Adapun pengarang kitab Al-Mukhtar Wa Matholi’ Al-Anwar, tidaklah kami mengenalinya. Kami tidak menemui kitab yang disebutkan. Akan tetapi berdasarkan apa yang kalian nukilkan, ia menunjukkan bahawa dia bukanlah seorang ulama’ yang muktabar. Kami memohon kepada Allah untuk menambahkan ilmu yang bermanfaat dan amal yang soleh kepada kami, kalian dan semua kaum Muslimin.
[Sumber: http://www.alifta.net/fatawa/fatawaDetails.aspx?View=Page&PageID=3057&PageNo=1&BookID=3 ]

Yang menariknya lagi, riwayat palsu di atas sangat popular dalam laman-laman web Syiah seperti link berikut:
http://www.sistani.org/arabic/book/23/1923/

http://www.alseraj.net/3/index2.shtml?81&90&81&1&7

http://www.alsafwh.net/vb/showthread.php?p=2280


Kesimpulan:
1- Hadis ini palsu.

2- Solat hadiah buat si mati adalah ibadah rekaan.

3- Boleh bersedekah bagi pihak si mati kerana wujud dalam dalil yang sahih, dan ia tidak khusus pada malam tertentu.

Wallahua’lam.
-ADMIN-
Page Dr. Ustaz Rozaimi Ramle – Hadith

Maksud Ijmak & Qiyas secara ringkas

Penerangan ringkas. Boleh rujuk kepada mereka yang belajar usuluddin untuk maklumat lanjut. 

Ijmak dan qiyas memang ada dalam Islam. Mana mungkin kita tolak ijmak dan qiyas sedangkan dalilnya ada dalam Qur’an dan sunnah? Walaupun kita selalu kata sumber rujukan kita adalah Qur’an dan sunnah, tidaklah kita tolak ijmak dan qiyas. Kerana apabila disebut rujukan kita adalah Qur’an dan sunnah, termasuklah sekali ijmak dan qiyas di dalamnya. 

Tapi kena faham apakah maksudnya, dan bagaimana aplikasi dia.

Ijmak: seluruh ulama yang layak buat ijtihad bersetuju atas sesuatu keputusan itu. Persoalan: mana nak cari semua ulama setuju satu dunia ni? Ada persatuan ulama mujtahid ke? Yang duduk berbincang dan kemudian bersetuju atas sesuatu perkara itu? Memang boleh dikatakan hampir mustahil. Kalau ustaz satu kampung pun susah nak bersetuju satu-satu perkara, apatah lagi kalau satu dunia. Dan ada masalah nak kumpulkan mereka juga. Sebab itu, ijma hanya diterima zaman sahabat sahaja sebab waktu itu mereka boleh duduk bersama. Dan ijmak yang terakhir adalah pada zaman Saidina Umar, iaitu apabila sahabat bersetuju bahawa kalau berjimak, walaupun tanpa keluar air mani, kena mandi junub juga. Kita terima ijmak itu kerana itu adalah salah satu sumber hukum kita. Tidak ada isu kita menolak ijmak ulama’. Tetapi, selepas itu, tidak ada ijma lagi, sebab para sahabat pun sudah merata keluar tidak boleh duduk berbincang dan mencapai kata putus sekali. Zaman itu pun sudah susah, apatah lagi zaman sekarang? Oleh itu, walaupun kita kata ijmak boleh diterima, tapi bolehkan dilakukan ijma’ itu lagi? 

Qiyas: menggunakan hukum yang telah sah, diaplikasikan kepada keadaan yang tidak ada pada zaman dulu kepada zaman sekarang. Sebagai contoh, dadah tidak ada zaman  Nabi, maka kena guna qiyas untuk mengetahui hukumnya. Cara untuk aplikasi adalah dengan tengok ilat yang sama antara keduanya.

Tetapi perlulah kita ingat bahawa Qiyas ini hanya boleh dipakai pada perkara ‘adat’ sahaja, bukan pada perkara ibadat. Kerana tidak ada qiyas dalam perkara ibadat. Imam Shafie sendiri ada kata: la qiyasa fil ibadah (tidak ada qiyas dalam perkara ibadat.

Lagi satu, yang boleh buat qiyas pun kenalah ulama yang boleh buat ijtihad.. bukan ‘ustaz’ biasa yang buat. Kena ada ‘ilmu alat’.. sebagai contoh, Ustaz Basit (Abu Anas Madani), ada ilmu alat untuk buat qiyas. Secara ringkasnya, qiyas memang diperlukan pada zaman sekarang.. sebab banyak perkara dunia yang berlainan dengan zaman Nabi dan sahabat. Tapi bukanlah dalam bentuk ibadat. Jadi, kalau ada yang reka cara zikir menari kerana pakai qiyas Jaafar bin Abi Talib melompat, itu adalah cara qiyas yang amat jelek.

Isu Allah tanpa bertempat 

HUJJAH ALLAH WUJUD TANPA BERTEMPAT

Sesungguhnya telah tersebar dalam masyarakat kita suatu kata-kata yang dinisbahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengenai Allah wujud tanpa bertempat.

KATA MEREKA:

Imam Ali radhiallahu ‘anhu berkata:
كان ولا مكان، وهو الان على كان.
“Adalah Allah, tiada tempat bagi-Nya, dan Dia sekarang tetap seperti semula.”

Beliau juga berkata:
إن الله تعالى خلق العرش إظهارًا لقدرته لا مكانا لذاته.
”Sesungguhnya Allah – Maha Tinggi- menciptakan Arsy untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan sebagai tempat untuk Zat-Nya.”[ Al Farqu baina al Firaq:333]

Beliau juga berkata:
من زعم أن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود.
”Sesiapa menganggap bahawa Tuhan kita terbatas (mahdûd) maka ia telah jahil (tidak mengenal) Tuhan Sang Pencipta.”[ Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73, ketika menyebut sejarah Ali ibn Abi Thalib ra.]

KITA JAWAB:
Ini merupakan pendustaan terhadap Ali Bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Hal ini dapat dilihat dari beberapa sudut:

Pertama:
Sesungguhnya athar ini dibawakan oleh orang-orang Syi’ah Rafidhah dalam buku-buku mereka tanpa ada sanad sama sekali. Antaranya dalam kitab mereka Al-Kaafi (karya Al-Kulaini). Al-Kulaini berkata:

وَ رُوِيَ أَنَّهُ سُئِلَ ( عليه السلام ) أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ سَمَاءً وَ أَرْضاً فَقَالَ ( عليه السلام ) أَيْنَ سُؤَالٌ عَنْ مَكَانٍ وَ كَانَ اللَّهُ وَ لَا مَكَانَ
Dan diriwayatkan bahawasanya Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam ditanya : Dimanakah Rabb kami sebelum menciptakan langit dan bumi?, maka Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salaam berkata, “Mana pertanyaan tentang tempat?! padahal Allah dahulu tanpa ada tempat (Al-Kaafi 1/90 dalam بَابُ الْكَوْنِ وَ الْمَكَانِ)

Ternyata memang aqidah orang-orang Asyaa’irah adalah sama dengan aqidah orang-orang Syi’ah Rafidhah dalam masalah dimana Allah.

Kerana memang orang-orang Rafidhah beraqidah mu’tazilah, dan Asya’irah dalam masalah dimana Allah sepakat dengan Mu’tazilah (padahal Mu’tazilah adalah musuh Asya’irah)

Athar ini dibawakan oleh Al-Kulaini dengan tanpa sanad, bahkan dengan sighah “Diriwayatkan” yang menunjukan lemahnya riwayat ini.

Kedua :
Demikian juga yang dinukil dari kitab Al-Farqu bainal Firoq karya Abdul Qahir Al-Baghdadi adalah riwayat tanpa sanad sama sekali.

Abdul Qahir Al-Baghdadi berkata :
“Mereka telah bersepakat bahawasanya Allah tidak diliputi tempat dan tidak berlaku waktu baginya, berbeza dengan perkataan orang-orang yang menyangka bahawasanya Allah menyetuh ‘Arsy-Nya dari kalangan Hasyimiyyah dan Karraamiyyah. Amiirul Mukminin Ali –radhiallahu ‘anhu- berkata : Sesungguhnya Allah telah menciptakan Al-‘Arsy untuk menunjukan kekuasaan-Nya dan bukan untuk sebagai tempat yang meliputi zat-Nya. Beliau berkata juga : Allah dahulu (sendirian) tanpa ada tempat, dan Allah sekarang sebagaimana Dia dulu” (Al-Farqu baynal Firaq hal 33)

Para pembaca yang budiman, ternyata riwayat-riwayat dari Ali bin Abi Thalib yang dibawakan oleh Abdul Qahir Al-baghdadi tanpa ada sanad sama sekali. Dan hal ini tentunya diketahui oleh Asyairah, akan tetapi mereka tetap saja menampilkan riwayat-riwayat dusta dan tanpa sanad ini demi untuk mendukung aqidah mereka yang bathil.

Ketiga :
Selain riwayat-riwayat tersebut tanpa sanad ternyata Abdul Qahir Al-Baghdadi sama sekali tidak dikenal sebagai seorang Muhaddith, namun demikianlah Asyairah tetap sahaja nekat mengambil riwayat dari orang yang tidak dikenali sebagai Muhaddith.

Keempat :
Abdul Qahir Al-Baghadadi tentunya lebih rendah kedudukannya daripada kedudukan gurunya iaitu Abul Hasan Al-‘Asy’ari.

Kelima :
Kalau seandainya riwayat-riwayat di atas sahih maka tidak menunjukan bahawasanya Ali bin Abi Thalib mengingkari adanya Allah di atas langit. Paling tidak, dalam riwayat-riwayat di atas baginda –radhialllahu ‘anhu- hanyalah mengingkari bahawasanya Allah diliputi oleh tempat, dan pernyataan tersebut adalah pernyataan yang benar.

IKTIQAD KITA AHLUS SUNNAH:
Ahlus sunnah tidak mengatakan bahawa Allah berada di suatu tempat yang meliputi Allah, akan tetapi mengatakan bahawasanya Allah berada di atas, iaitu di arah atas.
Wallahu a’lam.

Disunting dari kajian Ustaz Firanda Andirja